Kamis, 28 Februari 2013

Gonorea



1.      Definisi
Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorroheae. Penyakit menular seksual Gonore adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae yang di tularkan melalui genital. penyakit menular seksual akut pada lapisan mucocutaneus traktus genitourinarius dengan klinis adanya sekret uretra yang purulent  yang disebabkan oleh Neisseria Gonorrheae.

2.      Insidensi
Angka gonorea di Amerika Serikat lebih tinggi dari pada di negara-negara industri lainnya, dengan perkiraan 50 kali lebih banyak daripada Swedia dan 8 kali dari Kanada (CDC, 2000). Setelah infeksi oleh Neisseria Gonorrheae tidak timbul imunitas alami, sehingga infeksi dapat berjangkit lebih dari satu kali.
Angka gonorea di Amerika Serikat terus mengalami penurunan sejak pertengahan tahun 1970an sampai 1997, kemudian terjadi peningkatan 9% antara tahn 1997 dan1999. Angka infeksi paling tinggi pada kaum muda, dengan yang tertinggi pada perempuan berusia 15-19 tahun dan laki-laki berusia 20-24 tahun, pada laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama jenis. Dengan lebih dari satu juta kasus pertahun di amerika Serikat, gonore tetap menjadi masalah kesehatan yang besar.
Tidak semua orang yang terpajan oleh gonorea akan terjangkit penyakit, dan resiko penularan dari laki-laki kepada perempuan lebih tinggi daripada penularan perempuan kepada laki-laki terutama karena lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama di vagina.
3.      Etiologi
Penyebab Gonore adalah kuman Gonokokus yang termasuk dalam grup Neisseria dan dikenal terdapat 4 spesies, yaitu N.gonorrhoeae dan N.meningitidis yang bersifat patogen serta N.cattarrhalis dan N.pharyngis sicca yang bersifat komensal. Keempat spesies ini sukar dibedakan kecuali dengan tes fermentasi.
Gonokokus  termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi berukuran 0,8 µ dan panjang 1,6 μ bersifat tahan asam. Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram bersifat gram negatif, terlihat di luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39oC, dan tidak tahan zat desinfektan, Gonokok membutuhkan suhu 35-37oC dan pH (7,2 -7,6) untuk tumbuh.

4.      Faktor predisposisi
Faktor predisposisi dari penyakit gonore ini adalah :
ü  Hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi
ü  Hubungan seksual dengan sesama jenis
5.      Patofosiologi
Manusia adalah satu-satunya reservoar untuk N. Gonorrhoeae. Organisme ini cepat berkembang biak, dan infeksi menyebar melalui kontak langsung dengan mukosa yang terinfeksi, biasanya sewaktu berhubungan kelamin. Tidak terdapat bukti bahwa gonore dapat di tularkan melalui kontak dengan toilet atau benda-benda lain. Bakteri ini mula-mula melekat ke epitel mukosa, terutama tipe kolumnar atau transisional, menggunakan beragam molekul perekat di membran dan struktur yang di namai pili .Perlekatan ini mencegah organisme terbilas oleh cairan tubuh, misalnya urine atau mukus endoserviks. Karena adanya perlekatan dari bakteri ini mengakibatkan timbulnya respon dari host dengan adanya invasi dari neutrofil, pengelupasan epitel, pembentukan mikroabses submukosal dan discharge purulent.

6.      Gejala dan tanda
Pada sebagian besar laki-laki yang terinfeksi, gonore bermanifestasi sebagai disuria, sering berkemih,  malese, dan eksudat uretra mukopurulen dalam 2 hingga 7 hari setelah infeksi di mulai. Sebagian besar laki-laki memperlihatkan gejala, namun sampai 10% tidak, tetapi mereka tetap mampu menularkan penyakitnya. Pada sebagian besar kasus laki-laki akan segera berobat karena gejala yang mengganggu. Karena infeksinya cepat diketahui dan di terapi, maka jarang ada laki-laki yang mengalami prostatitis, epididimitis, atau bakteremia.Infeksi gonookus lokal, pada laki-laki asimptomatik atau tidak di obati, biasanya akan diatasi oleh pertahanan alami tubuh dalam beberapa minggu samapai beberapa bulan.
Pada pasien perempuan gejala dan tanda timbul dalam 7 samapi 21 hari, infeksi awal mungkin asimtomatik atau menyebapkan disuria, nyeri panggul bawah, dan discharge vagina. Perempuan yang sedikit atau tidak memperlihatkan gejala menjadi sumber utama penyebaran infeksi dan beresiko mengalami penyulit. Apabila tidak di obati, maka tanda-tanda infeksi meluas biasanya mulai tibul dalam 10 samapai 14 hari. Tempat penyebaran tersering pada perempuan adalah ke uretra, dengan gejala uretritis. Infeksi yang menyebar ke endometrium dan tubafallopi menyebapkan perdarahan abnormal vagina,nyeri panggul dan abdomen, dan gejala-gejala penyakit radang panggul yang progresif apabila tidak di obati.
Infeksi gonokokus dapat di tularkan ke bayi sewaku bayi melewati jalan lahir. Neonatus yang terkena dapat mengalami infeksi purulen di mata (oftalmia neonatorium), dahuu merupakan salah satu penyebap penting kebutaan. Pemberian rutin salep antibiotik ke mata neonatus telah menyebapkan penurunan ajam insidensi penyakit ini.
7.      Pemeriksaan Diagnostik
Gonorea dapat didiagnosis denga cepat dengan pewarnaan gram terhadap apusan eksudat yang di ambil dari tempat infeksi. Apusan positif apabila di temukan diplokokus gram-negatif intrasel. Sayangnya metode pewarnaan ini kurang andal untuk mendiagnosis gonorea pada perempuan, pasien asimptomatik, dan infeksi di rektum atau faring. Untuk memastikan diagnosis harus dilakukan pembiakan dari semua kemungkinan tempat infeksi. Kuman memerlukan waktu 48 sampai 96 jam untuk tumbuh dalam biakan, dan berdasarkan anamnesis dan gejala, atau riwayat pajanan, terapi antibiotik biasanya sudah di mulai sebelum hasil di peroleh. Uji-uji amplifikasi DNA dengan menggunakan metode reaksi berantai polimerase (PCR) dan reaksi berantai ligase (LCR) lebih sensitif dibandingkan biakan bakteri dan dapat digunakan dengan sekret vagina atau srviks atau urin. Bagi laki-laki dengan infeksi uretra, uji-uji amlifikasi DNA dapat di lakukan pada spesimen urine untuk menghindari rasa tidak nyaman akibat pengambilan sediaan apusan dari uretra. Sayangnya, spesimen urin tidak sensitif pada perempuan dengan infeksi uretra. Uji-uji amplifikasi DNA semakin banyak tersedia dan populer karena tingginya sensitivitas dan kemudahan dalam menangani dan mengirim spesimen. Uji-uji non biakan misalnya deteksi antigen dengan antibodi imunofluoresnsi langsung (DFA) dan enzyme immunosorbent assay (EIA) kurang dikembangkan dan jarang di gunakan.
Diagnosis penyakit gonore didasarkan pada hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap nanah untuk menemukan bakteri penyebab gonore. Jika pada pemeriksaan mikroskopik tidak ditemukan bakteri, maka dilakukan pembiakan di laboratorium. Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari 5 tahapan.
1.      Sediaan langsung
Dengan menggunakan pewarnaan gram akan ditemukan kuman Gonokokus gram negatif, intraseluler dan ekstraseluler. Bahan duh tubuh pada pria di ambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar Bartholin, serviks, dan rektum.
2.      Kultur
Untuk identifikasi perlu dilakukan pembiakan (kultur). Dua macam media yang dapat digunakan adalah :
1.    Media transpor
2.    Media pertumbuhan

Contoh media transpor adalah :
·      Media Stuart
Hanya untuk transpor saja, sehingga perlu ditanam kembali pada media pertumbuhan.

·      Media Transgrow
Media ini selektif dan nutritif untuk N.gonorrhoeae dan N.meningitidis, dalam perjalanan dapat bertahan hingga 96 jam dan merupakan gabungan media transpor dan media pertumbuhan, sehingga tidak perlu ditanam pada media pertumbuhan. Media ini merupakan modifikasi media Thayer Martin dengan menambahkan trimetoprim untuk mematikan Proteus spp.

Contoh media pertumbuhan adalah :
·      Mc Leod’s chocolate agar
Berisi agar coklat, agar serum, dan agar hidrokel. Selain kuman Gonokokus, kuman-kuman yang lain juga dapat tumbuh.

·      Media Thayer Martin
Media ini selektif mengisolasi Gonokokus. Mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram posisif, kolestimetat untuk menekan pertumbuhan bakteri gram negatif, dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.

·      Modified Thayer Martin agar
Isinya ditambah dengan trimetoprim untuk mencegah pertumbuhan kuman Proteus spp.

3.      Tes definitif
1.    Tes oksidasi
Reagen oksidasi yang mengandung larutan tertrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1% ditambahkan pada koloni Gonokokus tersangka. Semua Neisseria memberi reaksi positif dengan perubahan warna koloni yang semula bening berubah menjadi merah muda sampai merah lembayung.
2.    Tes fermentasi
Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai glukosa, maltosa, dan sukrosa. Kuman Gonokokus hanya meragikan glukosa.

4.      Tes beta-laktamase
Pemeriksaan beta-laktamase dengan menggunakan cefinase TM disc. BBL 961192 yang mengandung chromogenic cephalosporine, akan menyebabkan perubahan warna dari kuning menjadi merah apabila kuman mengandung enzim beta-laktamase.

5.      Tes Thomson
Tes Thomson berguna untuk mengetahui sampai sejauh mana infeksi sudah berlangsung. Dahulu pemeriksaan ini perlu dilakukan karena pengobatan pada waktu itu ialah pengobatan setempat.
Pada tes ini ada syarat yang perlu diperhatikan :
·           Sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi
·           Urin dibagi dalam dua gelas
·           Tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II.2

Syarat  mutlak ialah kandung kencing harus mengandung air seni paling sedikit 80-100 ml, jika air seni kurang dari 80 ml, maka gelas II sukar di nilai karena baru menguras uretra anterior.
Hasil pembacaan:
Gelas I
Gelas II
Arti
Jernih
Jernih
Tidak ada infeksi
Keruh
Jernih
Infeksi uretritis anterior
Keruh
Keruh
Panuretritis
Jernih
Keruh
Tidak mungkin



8.      Penatalaksanaan
Gonorea dapat di sembuhkan dengan penisilin mulai tahun 1940an; namun, sekarang banyak berkembang galur-galur N.Gonorrheaea yang resisten-penisilin. Terapi yang saat ini di rekomendasikan adalah golongan sefalosporin atau fluorokuinolon (CDC, 1998). Sayangnya, di banyak bagian dunia sudah di laporkan adanya galur-galur N.Gonorrheaea yang resisten-fluorokuinolon (QRNG). Karena ancaman galurgalur N.Gonorrheaea yang resisten ini maka pada semua kasus yang tidak sembuh harus di lakukan uji kepekaan. Karena tingginya insidensi koinfeksi dengan C. Trachomatis pada pasien dengan gonorea, maka dianjurkan pemberian terapi untuk kedua penyakit sekaligus. Dalam petunjuk-petunjuk CDC dapat dijumpai regimen-regimen terapi spesifik untuk gonorea pada pasien yang terinfeksi HIV (CDC, 1998). Semua kontak seksual pasien yang terifeksi harus dievaluasi dan di tawarkan terapi profilaktik.
Untuk terapi medikamentosa dari gonorea adalah:
·         Pilihan pertama dan kedua adalah sifroploksasin 500 mg dan ofloksasin 400 mg. Berbagai rejimen yang dapat diberikan adalah
ü  Siprofloksasin* 500 mg, atau
ü  Ofloksasin* 400 mg, atau
ü  Seftriakson* 250 mg injeksi intramuscular, atau
ü  Spektinomisin 2 g injeksi intramuskular.
Dikombinasikan dengan
ü  doksisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau
ü  tetrasiklin 4 x 500 mg, selama 7 hari, atau
ü  eritromisin 4 x 500 mg, selama 7 hari
·         untuk daerah dengan insiden galur Nesseria Gonorrhoeae penghasil penisilinase  (NGPP) rendah, pilihan utamanya adalah penisilin G prokain akua 4,8 juta unit + 1 gram probenesid. Obat lain yang dapat di pakai antara lain:
ü  ampisilin 3,5 gram + 1 gram probenesid, atau
ü  amoxixilin 3 gram + 1 gram probenesid.
·         Pada kasus gonore dengan komplikasi dapat diberikan salah satu obat di bawah ini:
ü  Siprofloksasin* 500 mg/hari per oral, selama 5 hari
ü  Ofloksasin* 400 mg/hai per oral, selama 5 hari
ü  Seftriakson 250 mg/hari, injeksi intramuscular, selama 3 hari
ü  Kanamisin 2 gram/hari injeksi intramuskular, selama 3 hari
ü  Spektinomisin  2 gram/hari, injeksi intramuskular, selam 3 hari
*Dikontraindikasikan untuk wanita hamil, menyusui, dan anak-anak berusia kurang dari 12 tahun.

9.      Komplikasi
Komplikasi pada pria:
·         Prostatitis
·         Cowperitis
·         Vesikulitis seminalis
·         Epididimitis
·         Cystitis dan infeksi traktus urinarius superior
Komplikasi pada wanita:
·         Komplikasi uretra
·         Bartholinitus
·         Endometritis dan metritis
·         Salphingitis


10.  Prognosis
Dubia ad bonam

Kernikterus



1.      Definisi
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak.
Kernikterus ialah kerusakan otak akibat perlekatan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokampus dan nucleus pada dasar ventrikel IV.
2.      Etiolgi
Kernikterus terjadi akibat peninggian kadar blirubin indirek sehingga mencapai keadaan yang disebut sebagai hiperbilirubinemia, yaitu bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% untuk bayi cukup bulan dan 15 mg% untuk bayi kurang bulan.
Etiologi hiperbilirubin antara lain :
2.1.Peningkatan produksi
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat di ekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namaun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan feses berwarna lebih gelap.
Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), eretrosit abnormal ( verositosis herediter), antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau transfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat, dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat disebabkan oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoiesis yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan dekstruksi eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang ( talasemia, anemia pernisiosa, dan porfiria).
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar bilirubin ; diluar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/dl pada bayi dapat menyebabkan terjadinya kernikterus.
Beberapa penyebab peningkatan produksi bilirubin :
·         Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
·         Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
·         Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
·         Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
·         Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid), Galaktosemia
·         Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat misalnya pada BBLR
·         Kelainan congenital

2.2.Gangguan ambilan bilirubin
Ambilan bilirubun tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan dengan memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati : asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan bebrapa zat warna kolesistografi. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat pencetus dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom gilbert dianggap disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati. Namun pada sebagian besar kasus ditemukan adanya defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan ini paling baik dianggap sebagai defek konjugasi bilirubin.
2.3.Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/100ml) yang timbul antara hari kedua dan kelima setelah lahir disebut sebagai ikterus fisiologis neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari hingga minggu kedua setelah lahir, dan setelah itu ikterus akan menghilang.
Apabila bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/dl, terjadi suatu keadaan yang disebut kernikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defesiensi glukoronin transferase normal. Kernikterus (atau bilirubin ensefalopati) timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah ganglia basalis yang banyak mengandung lemak. Bila keadaan ini tidak diobati maka terjadi kematian atau kerusakan neurologis yang berat. Tindakan pengobatan terbaru pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan foto terapi. Foto terapi adalah pemajanan sinar biru atau sinar fluoresen (panjang gelombang 430-470 nm) pada kulit bayi. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto-isomerisasi) menjadi isomer terpolarisasi yang larut dalam air, isomer ini diekskresikan dengan cepat kedalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu.
Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase adalah : sindsrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familiar ringa yang dicirikan dengan ikterus dan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang kronis. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi adanya dua bentuk sindrom Gilbert. Bentuk pertama pasien dengan bukti hemolisis dan peningkatan penggantian bilirubin. Bentuk kedua memiliki bersihan bilirubin yang menurun dan tidak terdapat hemolisis. Kedua bentuk ini dapat terjadi pada pasien yang sama dan dalam waktu yang sama. Pada sindrom Gilbert, derajat ikterus berubah-ubah dan sering kali memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, oprasi, dan asupan alkohol yang berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert sering terjadi dan menyerang sampai 5 % penduduk pria. Uji fungsi hati serta kadar urobilinogen urin dan feses , normal. Tidak ada urobilinuria . Penelitian mengungkapkan bahwa penderita ini mengalami defisiensi parsial glukorinil transferase. Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangsang aktivitas enzim glukoronil transferase.
Sindrom Crigler najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang terjadi. Penyebabya adalah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil transferase sama sekali sejak lahir . Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100ml. Hal ini menyebabkan terjadinya kernikterus. Fototerapi dapat mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun . Sindrom Cigler–Najjar tipe II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan , diwariskan sebagai suatu sifat genetik dominan dengan defisiensi sebagian glokorinil transerase . Kadar bilirubin tak terkonjugasi serum lebih frendah (6-20 mg/dl) dan ikterus mungkin tidak terlihat sampai usia remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil transferase seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.
2.4.Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urine sering menurun sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol, dan garam empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranye–kuning muda atau tua sampai kuning–hijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain ikterus obstruktif. Kolestatis dapat berupa intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis pada penyakit ini, pembengkakan dan dis organisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyalit hepato selular biasanya mengganggu semua pase metabolisme bilrubin-ambilan, konjugasi, dan ekskresi-tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada keadaan ini terjadi gangguan trasfer bilirubin melalui membran hepatosik yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anastetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazit, dan klorpomazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus ; karsinoma kaput pankreas menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar ; demikian juga dengan karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur paska peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.
2.5.Gangguan transportasi
Akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
2.6.Gangguan fungsi hati
Yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis, hepatitis neonatus.
2.7.Peningkatan sirkulasi enterohepatik,
Misalnya pada ileus obstruktif
2.8. Hipotiroidisme.
Faktor risiko untuk timbulnya hiperbilirubinemia:
1.      Faktor Maternal
·         Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
·         Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
·         Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
·         ASI
2.      Faktor Perinatal
·         Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
·         Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
3.      Faktor Neonatus
·         Prematuritas
·         Faktor genetik
·         Polisitemia
·         Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
·         Rendahnya asupan ASI
·         Hipoglikemia
·         Hipoalbuminemia

3.      Patofisiologi
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Neonatal  jaudince ( kuning pada bayi baru lahir) dapat dibagi menjadi 2 katagori berdasarkan penyebabnya :
3.1.Fisiologis
Sebagian besar bayi baru lahir mengalami peningkatan kadar bilirubin inderek pada hari – hari pertama kehidupan ( biasanya hari ke 2 – 3 ), mencapai puncaknya pada hari ke 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10–14 . kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 12 mg/dl. Proses tersebut antara lain karena bayi baru lahir mempunyai kadar Hb yang tinggi (18–19 g/dl) yang diperlukan selama masa janin untuk membawa oksigen. Setelah bayi lahir dan dapat bernapas (menghirup oksigen), kadar Hb yang tinggi tidak diperlukan lagi sehingga Hb mulai turun. Penurunan Hb sampai sekitar 11–12 g/dl ini terjadi pada minggu pertama kehidupan dan pemecahan ini menyebabkan unconjugated bilirubin (bilirubin inderek) meningkat dalam darah. Selain itu belum matangnya fungsi hati bayi baru lahir. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologis.
Teori lain mengatakan bahwa sel-sel darah merah yang telah tua dan rusak akan dipecah atau dihidrolisis menjadi bilirubin (pigmen warna kuning), yang oleh hati akan dimetabolisme dan dibuang melalui feses. Di dalam usus juga terdapat banyak bakteri yang mampu mengubah bilirubin sehingga mudah dikeluarkan bersama feses. Hal ini terjadi secara normal pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir, jumlah bakteri yang melakukan metabolisme bilirubin ini masih belum mencukupi sehingga ditemukan bilirubin yang masih beredar dalam tubuh tidak dibuang bersama feses. Begitu pula dalam usus bayi terdapat enzim glukoronil transferase yang mampu mengubah bilirubin dan menyerap kembali bilirubin ke dalam darah sehingga makin memperparah akumulasi bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan disimpan di bawah kulit, sehingga jadilah kulit bayi kuning. Biasanya dimulai dari wajah, dada, tungkai dan kaki menjadi kuning.

3.2.Patologis
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin terlalu berlebihan atau konyugasi hati menurun sehingga terjadi kumulasi bilirubin di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel otak apabila bilirubin tadi menembus sawar darah otak. Kelainan pada otak ini disebut kernikterus.
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), defisiensi enzim G6PD. Hemolisis dapat pula timbul karena perdarahan tertutup seperti cefal hematom. Bilirubin inderek akan lebih mudah melalui sawar darah otak pada bayi berat lahir rendah, immaturitas, hipoksia, hipoglikemia dan infeksi.    
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia.
Beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
a.       Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
b.      Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
c.       Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
d.      Ikterus yang disertai oleh:
·         Berat lahir <2000 gram
·         Masa gestasi 36 minggu
·         Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
·         Infeksi
·         Trauma lahir pada kepala
·         Hipoglikemia, hiperkarbia
·         Hiperosmolaritas darah
e.       Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB).


4.      Gejala klinis
Tanda-tanda dan gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi premature, tetapi setiap saat hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindrom setiap saat selama neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intracranial, dan penyakit sistemik akut lainnya pada neonatus.
Gejala-gejala awal pada Kernikterus :
·         Lesu
·         Nafsu makan jelek
·         Refleks Moro hilang
·         Bayi tampak sangat sakit
·         Refleks tendo (-)
·         Kegawatan pernafasan
·         Opistotonus
·         Fontanela mencembung
·         Muka dan tungkai berkedut
·         Tangisan melengking (high pitch cry)
Pada kasus yang lanjut dapat terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigiditas jarang terjadi pada stadium lanjut.
5.      Diagnosa
Berbagai teknik diagnostik telah digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki keterbatasan karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya. Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining) pengukuran bilirubin serum.
Pemeriksaan penunjang yang  dilakukan adalah :
  1. Kadar bilirubin serum (total)
  2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
  3. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
  4. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
  5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.
  6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).
6.      Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1.      Menghilangkan anemia
2.      Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
3.      Meningkatkan badan serum albumin
4.      Menurunkan serum bilirubin
Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, dan therapi obat.
6.1.Fototherapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia. Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.
Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420-470 nm). Meskipun demikian cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru (super) berspektrum sempit khusus, dan hijau efektif menurunkan kadar bilirubin.
Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, ruam macular eritematosa, kepanasan dan dehidrasi (peningkatan kehilangan air yang tidak terasa [insensible water loss], diare, menggigil karena pajanan, dan sindrom bayi perunggu (perubahan warna kulit yang coklat keabu-abuan dan gelap). Fototerapi merupakan kontraindikasi bila ada porfiria. Jejas mata atau oklusi hidung karena pembalut tidak lazim terjadi.

6.2.Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar.
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.                                                       
Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kernikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin berapapun.

6.3.Terapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.
Pemberiannya Phenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian Phenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus karena :
a.       Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
b.      Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
c.       Mempunyai pengaruh sedative yang tidak menguntungkan.
d.      Tidak menambah respon terhadap fototerapi.
Pemberian Timah (Sn)-Protoporfirin (atau timah-mesoporfirin) juga telah diusulkan untuk mengurangi kadar bilirubin. Timah tersebut dapat menghambat konversi biliverdin menjadi bilirubin melalui heme oksigenase. Walaupun kadar bilirubin dapat turun, pengaruhnya tidak lebih besar daripada yang dicapai dengan fototerapi. Komplikasinya meliputi eritema sementara jika bayi sedang menjalani fototerapi.
7.      Komplikasi
·         Cerebral palsy
·         Tuli nada tinggi
·         Paralisis dan displasia dental
·         Koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter
·         Retardasi mental
·         Kuadriplegia spastis

8.      Pencegahan
a.       Pencegahan Primer :
ASI sedini mungkin dan sering (8-12 kali/hari selama hari-hari pertama). Hindari suplementasi rutin dengan air atau dekstrosa pada bayi yang diberi ASI yang tidak mengalami dehidrasi. Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
b.      Pencegahan Sekunder:
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.                                                                             
b.1. Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
b.2. Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi  sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas. Jika ibu yang belum diketahui golongani darahnya atau Rh-negatif, harus dilakukan uji Coombs, golongan darah, dan jenis Rhesus (D) pada darah plasenta bayi. Jika terdapat kemungkinan tidak dilakukannya surveilans, penilaian risiko sebelum pulang dan follow up yang adekuat, maka jika golongan darah ibu O dianjurkan dilakukan pemeriksaan golongan darah bayi dan uji Coombs. Semua bayi harus dimonitor secara rutin untuk melihat adanya ikterus.

9.      Prognosis
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining pendengaran.